Asuhan Keperawatan Infeksi TORCH

KATA PENGANTAR


            Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Infeksi TORCH” dengan baik dan tepat waktu.         
            Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan maternitas 2. Selain itu, makalah ini disusun untuk memperluas ilmu tentang “Infeksi TORCH”.
Kami mengakui masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini karena pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki masih kurang. Oleh karena itu, kami berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam rangka menambah pengetahuan juga wawasan tentang infeksi TORCH.





Penulis
           









DAFTAR ISI


BAB III TEORI ASKEP







BAB 1

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam. Beberapa jenis infeksi yang umum dialami oleh wanita yang akan ataupun sedang hamil dan infeksi ini biasanya ditularkan ke calon bayi sehingga menyebabkan cacat. Oleh sebab itu, sangat penting dilakukan diagnosis dini agar dapat dilakukan pencegahan atau pengobatan lebih awal. Proses diagnosis dapat dilakukan langsung kepada dokter atau bidan, namun sering terjadi hambatan-hambatan seperti: keterbatasan waktu, keadaan fisik yang tidak memungkinkan untuk meninggalkan rumah, masalah keuangan, keterbatasan tenaga dokter atau bidan, dan lain-lain. (Evaliata, 2016)

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1   Apa definisi dari infeksi TORCH?
1.2.2   Apa etiologi dari infeksi TORCH?
1.2.3   Bagaimana patofisiologi dari infeksi TORCH?
1.2.4   Bagaimana manifestasi klinis dari infeksi TORCH?
1.2.5   Bagaimana penatalaksanaan dari infeksi TORCH?
1.2.6   Apa pemeriksaan penunjang dari infeksi TORCH?
1.2.7   Bagaimana WOC dari infeksi TORCH?



1.3  Tujuan Penulisan

1.3.1   Untuk mengetahui definisi dari infeksi TORCH
1.3.2   Untuk mengetahui etiologi dari infeksi TORCH
1.3.3   Untuk mengetahui patofisiologi dari infeksi TORCH
1.3.4   Untuk mengetahui manifestasi klinis dari infeksi TORCH
1.3.5   Untuk mengetahui penatalaksanaan dari infeksi TORCH
1.3.6   Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari infeksi TORCH
1.3.7   Untuk mengetahui WOC dari infeksi TORCH














 




BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Definisi Infeksi TORCH

Toksoplasmosis, rubella virus, citomegalovirus, dan herpes simplek virus, yang secara korelatif dikenal sebagai infeksi TORCH, adalah suatu kelompok organisme yang mampu menembus plasenta dan memengaruhi perkembangan janin. (Bobak, 2005)
2.1.1 Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah suatu infeksi protozoa yang timbul akibat mengonsumsi daging mentah atau terinfeksi kotoran kucing. Ibu hamil dengan antibodi HIV beresiko karena taksoplasmosis adalah salah satu infeksi oportunistik yang sering menyertai infeksi HIV. Keberadaan taksoplasmosis dapat ditentukan melalui pemeriksaan darah dan titer taksoplasmosis wanita kelompok risiko harus diperiksa. Infeksi akut pada masa hamil menimbulkan gejala yang menyerupai influenza dan limfadenopati. Pengobatan alternatif untuk toksoplasmosis adalah spiramisin, sulfa (dan klindamisin untuk wanita yang alergi terhadap sulfa) juga dipakai. (Bobak.2005)
2.1.2 Rubela
Rubela yang dikenal juga dengan sebutan campak jerman adalah suatu infeksi virus yang di transmisi melalui droplet. Demam, ruam, dan limfedema ringan biasanya terlihat pada ibu terinfeksi. Akibat pada janin lebih serius dan meliputi abortus spontan, anomali konginetal (disebut juga sindrom rubela konginetal), dan kematian. Pencegahan infeksi rubela maternal dan efek pada janin adalah fokus utama program imunisasi rubela. Vaksinasi ibu hamil di kontraindikasikan karena infeksi rubela bisa terjadi setelah vaksin diberikan. Sebagai bagian dari konseling prakonsepsi atau masa nifas, vaksin rubela diberikan kepada ibu yang tidak imun terhadap rubela dan mereka dianjurkan memakai kontrasepsi selama minimal 3 bulan setelah vaksinasi. (Bobak, 2005)

2.1.3 Cyto Megalo Virus
CMV ialah penyebab utama infeksi virus konginetal pada janin dan neonatus dan merupakan infeksi yang paling sering menyebabkan retardasi mental. Sumber-sumber infeksi virus meliputi salifa, urin, semen, air susu ibu, darah, dan sekresi servik atau vagina. CMV juga telah diisolasi dari jaringan plasma. Kebanyakan infeksi CMV primer asimptomatik dan kebanyakan ibu yang menunjukkan infeksi CMV pada kehamilan (melalui titer positif) mengalami infeksi kronis atau rekuren. Tidak ada terapi farmakologi yang efektif untuk CMV. Terapi berfokus pada upaya mengobati gejala. (Bobak, 2005)
2.1.4 Herpes Simpleks
Virus herpes simpleks tipe I (HSV-1) merupakan infeksi yang paling banyak ditemukan pada masa kanak-kanak. Virus ini terutama ditransmisi melalui kontak dengan sekresi oral dan menyebabkan coldsores dan fever blisters. Infeksi HSV-2 biasanya terjadi setelah puber seiring aktivitas seksual meningkat. HSV-2 ditransmisikan terutama melalui kontak dengan sekresi genetalia. Ahli kesehatan masyarakat percaya bahwa di Amerika Serikat 10-40 juta orang mengidap HSV-2. Banyak infeksi genital menunjukkan suatu campuran HSV-1 dengan HSV-2 (Bobak, 2005)

2.2  Etiologi Infeksi TORCH

2.2.1 Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii  merupakan protozoa intraselular obligat yang tergolong dalam filum Apicomplexa dan secara taksonomi mempunyai  kekerabatan dengan  Plasmodium, penyebab malaria dan  Pneumocystis, penyebab pneumonia. Hospes definitif Toxoplasma gondii  adalah kucing dan hospes sementara adalah burung dan mamalia, termasuk manusia. (Saiful, 2017)



2.2.2 Rubella
Rubela disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, family togaviridae. Secara fisikokimiawi, virus ini sama dengan anggota virus lain dari famili tersebut. Tetapi secara serologi, virus rubela berbeda. Sindrom rubela konginetal merupakan penyakit yang sangat menular yang penularannya melalui oral droplet, dari nasofaring atau rute pernafasan dan selanjutnya memasuki aliran darah. Namun, terjadi erupsi di kulit dan belum diketahui patogenesisnya. Virus rubela hanya menjangkiti manusia saja dan penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi, daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa erupsi, kemudian menurun hingga cepat dan berlangsung hingga hilangnya erupsi. ( Amin Huda.2015 )
2.2.3 Cyto Megalo Virus
CMV merupakan virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vivo dan in vitro.tanda patologi dari infeksi CMV adalah sebuah pembesaran sel dengan tubuh yang terinfeksi virus.sel yang menunjukan cytomegaly biasanya terlihat pada infeksi yang disebabkan oleh betaherpesvirinae lain.meskipun berdasarkan pertimbangan diagnosa,penemuan histological tersebut kemungkinannya minimal atau tidak ada pada organ yang trinfeksi. Ketika inang telah terinfeksi,DNA CMV dapat di deteksi oleh polymerase chain reaction (PCR) di dalam semua keturunan sel atau dan sistem organ didalam sistem tubuh.pada permulaannya, CMV menginfeksi sel epitel dari kelenjar saliva,menghasilkan infeksi yang terus menerus dan pertahanan virus.infeksi dari sistem genitif memberi kepastian klinik yang tidak konsekuen.meskipun replikasi virus pada ginjal berlangsung terus-menerus,disfungsi ginjal jarang terjadi pada penerima transplantasi ginjal.  (Bayu Fajar, 2018)



2.2.4 Herpes
HSV tipe I dan II merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan tipe II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenik, marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).
Transmisi virus herpes pada manusia
Virus
Transmisi
Portal of entry
Target sel awal
HSV 1
Kontak langsung
Mukosa, kulit
Epitel
HSV 2
Kontak langsung
Mukosa, kulit
Epitel
VZV
Inhalasi, kontak langsung
Saluran nafas, mukosa
Epitel
CMV
Saliva
Mukosa, aliran darah
Neutrofil, monosit
EBV

Mukosa, aliran darah
Limfosit B, kelenjar ludah
( Amin Huda.2015 )

2.3 Patofisiologi Infeksi TORCH

2.3.1 Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii  merupakan protozoa  intraselular obligat yang tergolong dalam filum Apicomplexa dan secara taksonomi mempunyai kekerabatan dengan  Plasmodium, penyebab malaria dan  Pneumocystis, penyebab  pneumonia. Hospes definitif Toxoplasma gondii  adalah kucing dan hospes sementara adalah burung dan mamalia, termasuk manusia. Toksoplasma gondii mempunyai 3 bentuk, (1) Ookista, yang dibentuk dalam  mukosa usus kucing (2) Takizoit (tropozoit yang membelah dengan cepat), merupakan bentuk yang  ditemukan pada infeksi akut dalam tubuh hospes perantara. (3) Kista (mengandung bradizoit, tropozoit yang membelah lebih lambat), yang terdapat dalam jaringan hospes perantara, terutama di otak, otot rangka dan otot jantung. Kista dapat bertahan lama dan menyebabkan infeksi menahun. Siklus hidup  Toksoplasma gondii  memiliki 2 fase, yaitu seksual dan aseksual. Fase seksual terjadi dalam tubuh hospes definitif. Pada fase ini terjadi pembentukan ookista dalam mukosa usus halus kucing yang akan dikeluarkan lewat tinja. Ookista sangat stabil pada lingkungan yang lembab dan hangat, tetapi tidak mampu bertahan terhadap iklim dingin dan kering. Ookista juga resisten terhadap banyak desinfektan. Ookista dapat menyebar ke lingkungan dan mengkontaminasi air, tanah, buah-buahan, dan sayur-sayuran, sehingga dapat tertelan oleh binatang lain dan manusia. Babi, sapi, atau kambing yang terinfeksi dapat menyebabkan infeksi sekunder pada manusia yang memakan daging yang tidak dimasak. Fase aseksual terjadi dalam tubuh hospes perantara. Pada fase ini terbentuk takizoit yang masuk dalam peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan infeksi akut. Daya tahan tubuh akan menghambat proses infeksi dan  takizoit berubah menjadi bentuk kista yang mengandung bradizoit, yang dapat bertahan seumur hidup. Toksoplasmosis umumnya ditularkan melalui 3  cara: menelan bentuk ookista Toksoplasma dari kotoran kucing yang melekat di tangan, memakan makanan mentah seperti sayuran atau buah yang tidak dicuci atau daging yang kurang matang, dan dari ibu kepada janin melalui  plasenta. Penularan juga bisa  terjadi melalui tranfusi darah dan transplantasi organ Ookista atau kista yang ditelan akan pecah dalam usus dan mengeluarkan tropozoit yang akan menyerang sel tubuh dan berkembang biak dalamnya. Sel yang telah penuh dengan tropozoit akan pecah dan menyerang sel lain disekitarnya. Parasit dapat menyerang semua sel tubuh kecuali sel darah merah20,23 serta mampu melewati dinding usus,  blood brain barrier  dan plasenta. Parasit tidak menghasilkan toxin, tetapi pertumbuhan kista intraselular akan menyebabkan sel tubuh menjadi nekrosis. (Saiful, 2017)
2.3.2 Rubella
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan. Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi dikulit belum diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama. Selain dari darah dan sekret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjer getah bening, urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir inkubasi, kemudian menurun dengan cepat. Dan berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
Rubella dapat ditularkan melalui kontak pernafasan dan memiliki masa inkubasi antara 2-3 minggu. Penderita dapat menularkan penyakit ini selama seminggu sebelum dan sesudah timbulnya rash (bercak - bercak merah) pada kulit. Rash pada Rubella berwarna merah jambu, mengjilang dalam waktu 2-3 hari dan tidak selalu muncul untuk semua kasus infeksi.
Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier plasenta. Untuk dapat terjadi viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel endotel janin. Viremia fetal dapat menyebabkan kelainan organ secara luas. Bayi- bayi yang dilahirkan dengan rubella kongenital 90 % dapat menularkan virus yang infeksius melalui cairan tubuh selama berbulan-bulan. Dalam 6 bulan sebanyak 30 – 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10 %. Dengan demikian bayi - bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi. (Amin Huda, 2015)



2.3.3 Cyto Megalo Virus
                    Sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab utama infeksi virus kongenital di amerika utara. CMV ditularkan dari orang ke orang melalui kontak langsung dengan cairan atau jaringan tubuh, termasuk urin, darah, liur, secret servikal, semen dan ASI. Masa inkubasi tidak diketahui; berikut ini adalah perkiraan masa inkubasi: setelah lahir-3 sampai 12 minggu; setelah tranfusi-3 sampai 12 minggu; dan setelah transplantasi-4 minggu sampai 4 bulan. Urin sering mengandung CMV dari beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi. Virus tersebut dapat tetap tidak aktif dalam tubuh seseorang tetapi masih dapat diaktifkan kembali. Hingga kini belum ada imunisasi untuk mencegah penyakit ini.
Ada 3 jenis CMV:
1.         Kongenital: didapat didalam rahim melalui plasenta. Kira-kira 40%
bayi yang lahir dari wanita yang menderita CMV selama kehamilan juga akan terinfeksi CMV. Bentuk paling berat dari infeksi ini adalah penyakit inklusi sito megalik.
2.         Akut-didapat: didapat selama atau setelah kelahiran sampai dewasa. Gejala mirip dengan mononucleosis( malaise, demam, faringitis, splenomegali, ruam petekia, gejala pernapasan). Infeksi bukan tanpa sekuela, terutama pada anak-anak yang masih kecil, dan dapat terjadi akibat tranfusi.
3.         Penyakit sistemik umum: terjadi pada individu yang menderita imunosupresi, terutama jika mereka telah menjalani transpantasi organ. Gejala-gejalanya termasuk pneumonitis, hepatitis, dan leucopenia, yang kadang-kadang fatal. Infeksi sebelumnya tidak menghasilkan kekebalan dan dapat menyebabkan reaktivasi virus.
(Bayu Fajar, 2018)
2.3.4 Herpes
HSV merupakan virus DNA yang dapat diklasifikasikan ke dalam HSV 1 dan 2. HSV 1 biasanya menyebabkan lesi di wajah, bibir, dan mata, sedangkan HSV 2 dapat menyebabkan lesi genital. Virus ditransmisikan dengan cara berhubungan seksual atau kontak fisik lainnya.
Melalui inokulasi pada kulit dan membran mukosa, HSV akan mengadakan replikasi pada sel epitel, dengan waktu inkubasi 4 sampai 6 hari. Replikasi akan berlangsung terus sehingga sel akan menjadi lisis serta terjadi inflamasi lokal. Selanjutnya, akan terjadi viremia di mana virus akan menyebar ke saraf sensoris perifer. Di sini virus akan mengadakan replikasi yang diikuti penyebarannya ke daerah mukosa dan kulit yang lain.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, herpes genital telah mengalami peningkatan. Akan tetapi, untungnya herpes neonatal agak jarang terjadi, bervariasi dari 1 dalam 2.000 sampai 1 dalam 60.000 bayi baru lahir. Tranmisi terjadi dari kontak langsung dengan HSV pada saat melahirkan. Risiko infeksi perinatal adalah 35--40% jika ibu yang melahirkan terinfeksi herpes genital primer pada akhir kehamilannya. (Bayu Fajar, 2018)

2.4 Manifestasi Klinis Infeksi TORCH

2.4.1 Toxoplasma Gondii
       Manifestasi klinis yang timbul pada penderita toksoplasmosis kongenital berupa retinokoroiditis, hepatoslenomegali, kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, mikrosefali, dan retardasi mental. Derajat kelainan yang timbul tergantung pada saat terjadinya infeksi selama masa kehamilan dan daya tahan tubuh penderita. Infeksi yang terjadi pada awal  kehamilan bahkan dapat menyebabkan abortus atau bayi lahir mati.
Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah retinokoroiditis, yang kadang-kadang dapat timbul bersamaan dengan manifestasi okular lain seperti iritis dan uveitis anterior.  Sebagian besar kasus penyakit ini menimbulkan kelainan pada kedua mata (bilateral).  (Saiful, 2017 )



2.4.2 Rubella
a.       Masa inkubasi 14-21 hari. Pada anak erupsi timbul tanpa keluhan jarang disertai gejala dan tanda pada masa prodromal.
b.      Pada remaja masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorokan, kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk dan limfadenopatik.
c.       Hari pertama erupsi timbul suatu enantema, forschheimer sport, yaitu makula atau pteki pada pallatum molle, bisa saling merengkuh sampai seluruh permukaan faucia.
d.      Pembesaran kelenjar limfe timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular dan servikal dan disertai nyeri tekan.
e.       Gejala prodromal menghilang saat erupsi timbul.
f.       Bayi yang lahir dari ibu hamil yang menderita rubela pada trimester 1 bisa terkena sindrom rubela konginetal, yaitu trias anomali konginetal pada mata, telinga, dan defek jantung. Kerusakan jantung dan mata terjadi karena infeksi embrio yang berumur 6  minggu, sedangkan ketulian dan defek jantung terjadi pada semua embrio yang berumur sampai kira-kira 16 minggu. ( Amin Huda.2015 )
2.4.3 Cyto Megalo Virus
a.       Pteki dan ekimosis
b.      Hepatosplenomegali
c.       Ikterus neonatorum, hiperbilirubinemia
d.      Retardasi pertumbuhan intrauterin
e.       Prematuritas (ukuran kecil menurut usia kehamilan)
f.       Gejala lain dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pada anak yang lebih besar : purpura , hilang pendengaran, korioretinitas : buta, demam, kerusakan otak
(Bayu Fajar, 2018)


2.4.4 Herpes
a.       Infeksi primer
·         Tipe I : di daerah pinggang ke atas, terutama daerah mulut dan hidung
·         Tipe II : di daerah pinggang ke bawah terutama di daerah genital
·         Infeksi primer berlangsung 3 minggu
·         Menular melalui kontak kulit
·         Demam, malaise, anoreksia
·         Pembengkakan kelenjar getah bening regional
( Amin Huda.2015 )
b.      Fase laten
Fase ini tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis
c.       Infeksi rekurens
·      Trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, berhubungan seksual)
·      Trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi)
·      Berlangsung 7-10 hari
·      Rasa panas, gatal, dan nyeri
·      Dapat timbul pada tempat yang sama

2.5 Penatalaksanaan Infeksi TORCH

2.5.1 Toxoplasma Gondii
        Wanita hamil dan bayi yang terinfeksi, baik yang menunjukkan gejala atau tidak, mempunyai indikasi untuk mendapat pengobatan spesifik  Toksoplasma gondii secepatnya setelah diagnosis ditegakkan. Beberapa obat terbukti efektif terhadap bentuk takizoit  Toxoplasma gondii, tetapi belum ada obat yang efektif terhadap bentuk bradizoit.Pengobatan  terpilih toksoplasmosis kongenital adalah kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
WHO dan CDC merekomendasikan protokol terapi terhadap wanita hamil yang terinfeksi Toksoplasma berupa kombinasi pirimetamin (dosis dewasa 25-100 mg/hari, selama 3-4 minggu), sulfadiazin (dosis dewasa 1-1,5 gr 4x sehari selama 3-4 minggu), dan asam folat (leucovorin, 10-25 mg/hari selama 3-4 minggu) untuk mencegah depresi sumsum tulang.Pirimetamin tidak dapat diberikan pada trimester pertama dan kedua kehamilan karena efek teratogeniknya. Obat yang dapat diberikan untuk wanita pada kehamilan trimester pertama dan kedua adalah sulfadiazin.
Spiramisin juga digunakan untuk mengobati wanita yang mendapat infeksi selama kehamilan. Obat ini dapat mengurangi resiko terjadinya toksoplasmosis kongenital bila diberikan pada fase awal penyakit. Spiramisin memiliki konsentrasi yang tinggi dalam jaringan, terutama plasenta. Dosis yang diberikan pada infeksi maternal akut adalah 3-4 gr/hari per oral yang dibagi dalam 4 dosis selama 3-4 minggu.  Belum ada laporan efek teratogenik obat ini pada hewan dan manusia.
Derouin dkk. menyampaikan bahwa kotrimoksazol merupakan obat yang lebih baik dibandingkan spiramisin untuk mengobati toksoplasmosis selama kehamilan, tetapi kurang efektif  dibandingkan kombinasi pirimetamin-sulfadiazin. Obat ini tidak boleh diberikan pada trimester I kehamilan. Pengobatan pada bayi penderita toksoplasmosis kongenital dapat berlangsung selama 1 tahun. Pada 6 bulan pertama dapat diberikan sulfadiazin (80-100 mg/kgbb/hari) dan pirimetamin (1-2 mg/kgbb/hari) ditambah kalsium leukovorin (5 mg/3 hari), untuk mengatasi efek samping depresi sumsum tulang. Jika terdapat gejala korioretinitis aktif, dapat diberikan terapi streoid (1 mg/kgbb/hari). Setelah 6 bulan terapi, kombinasi terapi diatas dapat diberikan bergantian setiap bulan dengan spiramisin (100 mg/kgbb/hari). (Saiful Basri 2017 )
2.5.2 Rubella
Untuk tahap penyembuhan sebenarnya tidak ada obat yang spesifik. Berikut beberapa penanganan yang dilakukan jika terinfeksi :
a.    Farmakologi : Acetaminopen atau ibuprofen dapat mengurangi demam dan nyeri
b.    Pengobatan rawat jalan
Dikarenakan penyakit rubela merupakan penyakit yang ringan (jika menyerang anak-anak dan orang dewasa). Seseorang yang menderita rubela bisa dijaga di rumah, tetapi tetap menjaga suhu tubuh pasien


c.    Pengobatan untuk wanita yang hamil
Pada wanita hamil jika terserang virus ini maka sebaiknya segera diperiksa ke dokter dan kemungkinannya dokter memberikan suntikan immunoglobulin. Ig tidak dapat menghilangkan virus rubela tetapi dapat membantu dalam meringankan gejala yang diberikan oleh virus ini dan dapat mengurangi risiko pada janin
Walaupun tidak ada obat yang spesifik, namun dapat diberikan pencegaha, yaitu dengan vaksin dalam bentuk vaksin kombinasi yang sekaligus digunakan untuk mencegah infeksi campak dan gondongan dikenal dengan vaksin MMR
( Amin Huda.2015 )
2.5.3 Cyto Megalo Virus
Tidak ada terapi khusus untuk CMV pada individu yang sehat. Pasien dengan gangguan kekebalan dan mereka yang memiliki gejala mononukleosis atau gejala hepatitis diobati berdasarkan gejala yang timbul atau dengan terapi antivirus. (Bayu Fajar, 2018)
2.5.4 Herpes
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salep atau krim yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklofir (zofirax). Pengobatan oral preparat asiklofir dengan dosis 5 x 200 mg perhari selama 5 hari mempersingkat kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren. Pemberian parenteral asiklofir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit yang lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ dalam.
Untuk terapi sistemik digunakan asilofir, falasiklofir atau farmsiklofir. Jika pasien mengalami rekuren 6 kali dalam setahun, pertimbangkan untuk menggunakan asiklofir 400 mg atau falasiklofir 1000 mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine. Pada wanita hamil diberi vaksin HSV sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklofir intravena. ( Amin Huda.2015 )

2.6 Pemeriksaan Penunjang TORCH

2.6.1 Toxoplasma Gondii
Tes ini mempergunakan antigen Toxoplasma yang diletakkan pada penyangga padat, mula-mula di inkubasi dengan serum penderita kemudian dengan antibodi berlabel enzim. Kadar antibodi dalam serum penderita sebanding dengan intertitas warna yang timbul setelah ikatan antigen antibodi dicampur dengan substrat. Uji aviditas pada ELISA bermanfaat untuk determinasi prediktif kapan seseorang atau individu tersebut diperkirakan terinfeksi Aviditas ELISA juga dapat digunakan untuk menentukan status infeksi serta kekuatan ikatan intrinsik antara antibodi dengan antigen.
Cara Kerja :
a)      Lokasi Pengambilan Sampel
-    vena mediana cubiti ( dewasa )
-    vena jugularis superficial
b) Cara kerja pengambilan sampel :
-    Bersihkan daerah vena mediana cubiti dengan alcohol 70% dan biarkan  menjadi kering kembali
-    Pembendungan vena tidak boleh terlalu kuat .
-    Tegangkan kulit diatas vena dengan jari tangan kiri agar vena tidak bergerak
-    Lepaskan pembendungan dan ambillah darah sesuai yang dibutuhkan
-    Taruh kapas diatas jarum/nald dan cabut perlahan
-    Mintakan agar pasien menekan bekas tusukan dengan kapas tadi
-    Alirkan darah dari syringe kedalam tabung melaluji dinding tabung dan berikan label berisi tanggal pemeriksaan,nama pasien dan jenis specimen.
2.6.2        Rubella
a.    Tes darah serologi antigen rubela
b.    Pemeriksaan ELISA
             ( Amin Huda.2015 )
2.6.3 Cyto Megalo Virus
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengetahui infeksi akut atau infeski berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang silakukan meliputi Anti CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG. (Bayu Fajar, 2017)
2.6.4        Herpes
Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Jika tidak ada lesi, dapat diperiksa antibodi HSV. Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dari bahan vesikel dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi itranuclear.
( Amin Huda.2015 )

2.7 WOC Infeksi TORCH

2.7.1 Toxoplasma Gondii
2.7.2 Rubella
2.7.3 Cyto Megalo Virus
2.7.4 Herpes




BAB III

TEORI ASKEP


3.1 Pengkajian

a. Keluhan utama :
Merasakan nyeri di ekstermitas, demam
b. Riwayat kesehatan:
·    Suhu tubuh meningkat
·    Malaise
·    Sakit tenggorokan
·    Mual dan muntah
·    Nyeri otot
c. Riwayat kesehatan dahulu:
    1. Pasien sering berkontak langsung dengan binatang
    2. Pasien sering mengkonsumsi daging setengah matang
    3. Pasien pernah mendapatkan tranfusi darah
d. Pemeriksaan fisik
·         Mata : Nyeri
·         Perut : Diare, mula dan muntah
·         Integument: suka berkeringat malam, suhu tubuh meningkat, timbulnya rash pada kulit
·         Muskuloskletal: Nyeri dan kelemahan

3.2 Diagnosa

a.       Risiko infeksi b.d takazoid yang masuk ke dalam tubuh
b.      Hipertermi b.d masa prodromal
c.       Risiko infeksi b.d masuknya virus rubela dalam tubuh
d.      Kurang pengetahuan b.d keterbatasan paparan
e.       Pola nafas tidak efektif b.d suplai oksigen tidak adekuat
f.       Gangguan citra b.d struktur kulit berubah dengan ulkus mole
g.      Hipertermi b.d respon sistemik tubuh

3.3 Intervensi

a. Dx : Risiko infeksi b.d takazoid yang masuk ke dalam tubuh
NOC
§   Immune Status
§   Knowledge : Infection control
§   Risk control
Kriteria Hasil:
§  Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
§  Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
§  Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
§  Jumlah leukosit dalam batas normal
§  Menunjukkan perilaku hidup sehat.
Intervensi :
§   Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
§  Pertahankan teknik isolasi
§  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
§   Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
§  Berikan terapi antibiotik bila perlu
§  Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
§  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
§  Monitor kerentangan terhadap infeksi
§  Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko

b.    Dx : Hipertermi b.d masa prodromal
NOC
§  Thermoregulasi
Kriteria Hasil :
§  Suhu tubuh dalam rentang normal
§  Nadi dan RR dalam rentang normal
§  Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada yang mendorong
Intervensi :
§  Monitor suhu sesering mungkin
§  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
§  Monitor penurunan tingkat kesadaran
§  Berikan anti piretik.
§  Berikan pengobatan untuk mengatasi demam
§  Berikan pengobatan untuk menggigil.
§  Monitor suhu minimal setiap 2 jam.
§  Rencanakan pemantauan.
§  Pantau warna dan suhu kulit.
§  Pantau tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§  Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi.
§  Selimuti pasien untuk mencegah pemulihan kehangatan tubuh

NOC
§   Immune Status
§   Knowledge : Infection control
§   Risk control
Kriteria Hasil:
§  Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
§  Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
§  Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
§  Jumlah leukosit dalam batas normal
§  Menunjukkan perilaku hidup sehat.
Intervensi :
§   Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
§  Pertahankan teknik isolasi
§  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
§   Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
§  Berikan terapi antibiotik bila perlu
§  Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
§  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
§  Monitor kerentangan terhadap infeksi
§  Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko

d. Kurang pengetahuan b.d keterbatasan paparan
NOC:
§   Knowledge : disease process
§   Knowledge : health
Kriteria Hasil:
§   Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan.
§  Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
§  Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.
Intervensi :
§  Kaji tingkat pengetahuan pasien dan Keluarga.
§  Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
§  Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat.
§  Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat.
§  Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat.
§  Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat



e. Pola nafas tidak efektif b.d suplai oksigen tidak adekuat
     NOC
§  Respiratory status: ventilation
§  Respiratory status: airway patency
§  Vital sign status
Kriteria Hasil:
§  Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,mapu bernafas dengan mudah,tidak ada pursed lips)
§  Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,irama nafas,frekuensi pernafasan dalam rentang normal,tidak ada suara nafas abnormal)
§  Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah,nadi,pernfasan)
Intervensi
§  Buka jalan nafas,gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
§  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
§  identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
§  lakukan fisioterapi dada bila perlu
§  keluarkan sekret dengan batuk atau suction
§  auskultasi suara nafas,catat adanya suara tambahan
§  berikan bronkodilator  bila perlu
§  atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
§  monitor respirasi dan status O2
 Respiratory Monitoring
§  Monitor ratarata kedalaman,iram dan usaha respirasi
§  catat pergerakan dada,amati keseimetrisan,penggunaa otot tambahan,retraksi otot supraclavicular dan intercostal
§  monitor suara nafas,seperti dengkur
§  monitor pola nafas: bradipnea ,takipnea , kussmaul ,hiperventilasi , cheyne stokes,biot.
§  catat lokasi trakea
§  monitor kelelahan otot diafragma (gerakan paradoksis)
§  auskultasi suara nafas,catat area penurunan/tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
§  tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama
§  auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya.

f. Gangguan citra b.d struktur kulit berubah dengan ulkus mole
NOC
§    Body image
§    Self esteem
Kriteria Hasil :
§       Body image positif
§       Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
§       Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
§       Mempertahankan interaksi sosial
Intervensi :
§       Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya.
§       Monitor frekuensi mengkritik dirinya.
§  Melaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit.
§  Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
§  Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu.

g. Hipertermi b.d respon sistemik tubuh
NOC
§  Thermoregulasi
Kriteria Hasil :
§  Suhu tubuh dalam rentang normal
§  Nadi dan RR dalam rentang normal
§  Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada yang mendorong

Intervensi :
§  Monitor suhu sesering mungkin
§  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
§  Monitor penurunan tingkat kesadaran
§  Berikan anti piretik.
§  Berikan pengobatan untuk mengatasi demam
§  Berikan pengobatan untuk menggigil.
§  Monitor suhu minimal setiap 2 jam.
§  Rencanakan pemantauan.
§  Pantau warna dan suhu kulit.
§  Pantau tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§  Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi.
§  Selimuti pasien untuk mencegah pemulihan kehangatan tubuh

3.4 Implementasi

a. Dx : Risiko infeksi b.d takazoid yang masuk ke dalam tubuh
§  Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
§  Mempertahankan teknik isolasi
§  Menginstruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
§   Mempertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
§   Memberikan terapi antibiotik bila perlu
§   Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
§   Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
§   Memonitor kerentangan terhadap infeksi
§  Mempertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko

b. Dx : Hipertermi b.d masa prodromal
§  Memonitor suhu sesering mungkin
§  Memonitor tekanan darah, nadi dan RR
§  Memonitor penurunan tingkat kesadaran
§  Memberikan anti piretik.
§  Memberikan pengobatan untuk mengatasi demam
§  Memberikan pengobatan untuk menggigil.
§  Memonitor suhu minimal setiap 2 jam.
§  Merencanakan pemantauan.
§  Memantau warna dan suhu kulit.
§  Memantau tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§  Meningkatkan asupan cairan dan nutrisi.
§  Menyelimuti pasien untuk mencegah pemulihan kehangatan tubuh

c. Risiko infeksi b.d masuknya virus rubela dalam tubuh
§  Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
§  Mempertahankan teknik isolasi
§  Menginstruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
§  Mempertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
§  Memberikan terapi antibiotik bila perlu
§  Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
§  Memonitor kerentangan terhadap infeksi
§  Mempertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko

d. Kurang pengetahuan b.d keterbatasan paparan
§  Mengkaji tingkat pengetahuan pasien dan Keluarga.
§  Menjelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
§  Menggambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat.
§  Menggambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat.
§  Menyediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat.
§  Menyediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
e.  Pola nafas tidak efektif  b.d suplai oksigen tidak adekuat
§  Membuka jalan nafas,gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
§  Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
§  Mengidentifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
§  Melakukan fisioterapi dada bila perlu
§  Mengeluarkan sekret dengan batuk atau suction
§  Mengauskultasi suara nafas,catat adanya suara tambahan
§  Memonitor respirasi dan status O2
§  Mencatat pergerakan dada,amati keseimetrisan,penggunaa otot tambahan,retraksi otot supraclavicular dan intercostal
§  Monitor suara nafas,seperti dengkur
§  Monitor pola nafas: bradipnea ,takipnea , kussmaul ,hiperventilasi , cheyne stokes,biot.
§  Catat lokasi trakea
§  Monitor kelelahan otot diafragma (gerakan paradoksis)
§  Auskultasi suara nafas,catat area penurunan/tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
§  Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama
§  Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya.

f. Gangguan citra b.d struktur kulit berubah dengan ulkus mole
§  Mengkaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya.
§       Memonitor frekuensi mengkritik dirinya.
§  Menjelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit.
§  Mendorong klien mengungkapkan perasaannya.


g.      Hipertermi b.d respon sistemik tubuh
§  Monitor suhu sesering mungkin
§  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
§  Monitor penurunan tingkat kesadaran
§  Berikan anti piretik.
§  Berikan pengobatan untuk mengatasi demam
§  Berikan pengobatan untuk menggigil.
§  Monitor suhu minimal setiap 2 jam.
§  Rencanakan pemantauan.
§  Pantau warna dan suhu kulit.
§  Pantau tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§  Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi.
§  Selimuti pasien untuk mencegah pemulihan kehangatan tubuh

3.5  Evaluasi

Intervensi dan kriteria hasil yang ditetapkan oleh perawat dapat tercapai.

 















BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B).
Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat mengakibatkan keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil bisa akan sulit mendapatkan kehamilan.



DAFTAR PUSTAKA


Basri, Saiful. 2017. Toksoplasmosis Okular Kongenital Volume 17
https://doi.org/10.24815/jks.v17i2.8993

Bobak, Lowdermilk, dkk. 2005. Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.

Fajar, Bayu. 2018. Infeksi CMV. Volume 1.
https://doi.org.10.26891/jkm.vl2.2018.114-117

Huda, Amin. 2015. Aplikasi Nanda NIC NOC. Jilid 2. Yogyakarta : Mediaction

Huda, Amin. 2015. Aplikasi Nanda NIC NOC. Jilid 3. Yogyakarta : Mediaction

Sidarta, Felicia. 2013. Keperawatan Mternitas.

Komentar